Ribuan Warga Demo di Pati: Penolakan Pajak Properti 250% Jadi Sorotan Nasional

pajak properti 250
0 0
Read Time:3 Minute, 48 Second

Ribuan Warga Demo di Pati: Penolakan Pajak Properti 250% Jadi Sorotan Nasional

Pajak properti 250% di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, memicu gejolak besar yang tak terhindarkan. Ribuan warga turun ke jalan, memenuhi alun-alun kota, menuntut pembatalan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dianggap memberatkan. Suara protes menggema, spanduk bertuliskan “Cabut Pajak Properti 250%” berkibar di tengah lautan manusia, menjadi simbol perlawanan terhadap kebijakan fiskal daerah yang dinilai tidak pro rakyat.

Sejak pengumuman kenaikan pajak properti 250% awal Agustus 2025, keresahan warga semakin menjadi. Media sosial dibanjiri keluhan, foto tagihan pajak yang melonjak, dan seruan aksi massa. Isu ini tak hanya mengguncang Pati, tapi juga menyita perhatian nasional karena dianggap sebagai contoh buruk komunikasi publik pemerintah daerah.


Latar Belakang Kenaikan Pajak Properti 250%

Kenaikan pajak properti 250% di Pati diumumkan secara resmi oleh pemerintah kabupaten pada awal bulan. Kebijakan ini didasarkan pada argumentasi bahwa tarif pajak belum pernah diperbarui sejak 2011, sementara kebutuhan dana untuk infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan meningkat signifikan.
Meski alasan tersebut terdengar logis bagi pemerintah, warga menilai kebijakan ini terburu-buru dan tidak memperhitungkan kemampuan bayar masyarakat.

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sendiri, menurut Wikipedia, adalah pungutan yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan/atau bangunan. Meski diatur secara nasional, besaran tarifnya dapat ditentukan oleh pemerintah daerah. Idealnya, kenaikan dilakukan secara bertahap agar tidak mengagetkan pemilik properti.

Bagi petani, buruh, pedagang kecil, dan pensiunan, kenaikan pajak properti 250% menjadi beban berat. Banyak warga yang sebelumnya hanya membayar ratusan ribu rupiah per tahun, kini dihadapkan pada tagihan jutaan rupiah. Di tengah ekonomi pasca-pandemi yang belum pulih, kebijakan ini dirasa sangat tidak realistis.


Kronologi Aksi Massa Menolak Pajak Properti 250%

Aksi protes pertama dimulai pada 10 Agustus 2025 dengan puluhan orang berkumpul di depan kantor bupati. Namun, dalam waktu tiga hari, jumlah massa membengkak menjadi puluhan ribu. Puncaknya terjadi pada 12 Agustus, ketika sekitar 100 ribu orang memadati alun-alun Pati.

Spanduk, poster, dan simbol perlawanan seperti boneka karikatur bupati memenuhi jalanan. Orator dari berbagai kelompok—petani, mahasiswa, tokoh masyarakat—menyampaikan keluhan dan tuntutan. Dua poin utama menjadi fokus: pembatalan kenaikan pajak properti 250% dan pengunduran diri bupati.

Ketegangan meningkat ketika aparat mencoba membubarkan massa. Bentrokan pun pecah, mengakibatkan 64 orang luka-luka dan 11 ditahan. Namun, tekanan publik semakin besar ketika tagar #TolakPajak250 dan #PatiBergerak trending di media sosial nasional.


Dampak Sosial dan Politik dari Kenaikan Pajak Properti 250%

Kasus pajak properti 250% ini tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, tapi juga memengaruhi stabilitas politik di Pati. Reputasi bupati menurun drastis, dukungan politik mulai tergerus, dan kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah menurun tajam.

Dari sisi sosial, aksi ini memperlihatkan meningkatnya kesadaran politik warga. Masyarakat lintas usia dan profesi bersatu dalam satu tujuan. Solidaritas ini juga menyebar ke daerah tetangga seperti Kudus, Jepara, dan Blora yang mulai mengawasi kebijakan pajak daerahnya masing-masing.

Pengamat menilai, kasus ini menjadi preseden penting. Jika pemerintah daerah lain menerapkan kebijakan serupa tanpa sosialisasi yang baik, potensi gejolak serupa sangat besar.


Respons Pemerintah Terhadap Aksi Tolak Pajak Properti 250%

Di tengah tekanan besar, pada 14 Agustus 2025 bupati akhirnya mengumumkan pembatalan kenaikan pajak properti 250%. Dalam konferensi pers, ia mengakui kurangnya sosialisasi dan berjanji akan melibatkan masyarakat dalam perumusan kebijakan fiskal selanjutnya.

Namun, bagi sebagian warga, pencabutan kebijakan belum cukup. Mereka menilai kerugian psikologis dan ketidakpercayaan yang timbul tidak bisa dihapus begitu saja. Tuntutan pengunduran diri bupati tetap bergema, menunjukkan bahwa krisis kepercayaan sudah telanjur terjadi.


Perbandingan dengan Demonstrasi Pajak di Daerah Lain

Fenomena penolakan pajak daerah sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Menurut Wikipedia, demonstrasi adalah salah satu bentuk partisipasi politik warga negara. Beberapa kasus sebelumnya—seperti penolakan pajak reklame di Jakarta dan protes tarif retribusi di Surabaya—juga memicu respons keras publik.

Bedanya, di Pati, kenaikan pajak properti 250% menjadi isu yang menyentuh langsung hampir seluruh lapisan masyarakat. Skala massa yang terlibat dan intensitas protes menjadikannya salah satu gerakan lokal terbesar dalam dekade terakhir.


Penutup

Kisah pajak properti 250% di Pati menjadi pengingat bahwa kebijakan fiskal harus dirancang dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi warga dan disosialisasikan secara efektif. Pemerintah daerah perlu belajar dari krisis ini agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Masyarakat Pati telah membuktikan bahwa suara kolektif mampu mengubah kebijakan. Kini, tantangannya adalah bagaimana membangun kembali kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.


Kesimpulan

Kenaikan pajak properti 250% di Pati adalah pelajaran penting bagi seluruh pemangku kebijakan di Indonesia. Transparansi, komunikasi, dan partisipasi publik bukan sekadar formalitas, tapi kunci keberhasilan setiap kebijakan.

Dengan pembatalan kebijakan tersebut, warga Pati meraih kemenangan penting. Namun, perjuangan untuk pemerintahan yang lebih peka dan responsif masih harus dilanjutkan.


Referensi

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %